Quote:
Sejarah Arab-Israel adalah sejarah konflik atau peperangan. Namun, dunia kini dikejutkan dengan aksi rakyat di dunia Arab dan Israel yang sama-sama menggugat kondisi kehidupan yang mengimpit mereka. Ratusan ribu rakyat Israel, Sabtu (13/8) malam, kembali berunjuk rasa di sejumlah kota di negara itu dengan meneriakkan satu slogan ”rakyat menginginkan seuntai napas kehidupan dan keadilan sosial”. Tepat sepekan sebelumnya, sedikitnya seperempat juta rakyat Israel juga mengikuti unjuk rasa serupa. Mereka menduduki jalan-jalan utama di kota-kota besar dan mendirikan tenda dengan tuntutan meraih kehidupan lebih terhormat. Bahkan, ada pengunjuk rasa membawa pamflet besar di pusat kota Tel Aviv dengan tulisan bahasa Yahudi dan Arab: ”Di sini Mesir”. Jalan utama di Tel Aviv, Jerusalem, dan kota-kota lainnya tak ubahnya seperti Alun-alun Tahrir di Kairo, Mesir. Tuntutan akan keadilan sosial serta persamaan hak antara kaya dan miskin terdengar keras di jalan utama atau alun-alun kota, persis seperti teriakan yang sebelumnya terdengar di Alun-alun Tahrir di Kairo atau Jalan Habib Bourguiba di kota Tunis, Tunisia. Tuntutan akan keadilan sosial dan persamaan hak itu sesungguhnya menjadi dasar meletusnya revolusi di dunia Arab. Tuntutan yang sama juga menggerakkan unjuk rasa besar-besaran di Israel. Hanya saja keadilan sosial, persamaan hak, penegakan hak asasi manusia, jalan demokrasi, dan kebebasan di dunia Arab harus ditempuh dengan revolusi, menumbangkan rezim diktator. Itulah sebabnya teriakan demokrasi dan kebebasan terdengar nyaring di negara-negara Arab. Meski sistem demokrasi di Israel jauh lebih mapan, hal itu ternyata belum mampu menciptakan keadilan sosial dan persamaan hak. Karena itu, secara substansial unjuk rasa di dunia Arab dan Israel ini memiliki pijakan yang sama. Hal itu cukup aneh karena Israel secara ekonomi tergolong makmur dengan pendapatan per kapita sekitar 28.000 dollar AS per tahun. Bandingkan dengan Mesir yang pendapatan per kapita penduduknya hanya sekitar 2.700 dollar AS per tahun. Persoalan di Israel bermula ketika pemerintah pada awal bulan Agustus menaikkan tarif listrik sebesar 12 persen. Kenaikan tarif listrik itu segera menjadi amunisi yang menggerakkan rakyat turun ke jalan, menolak akumulasi impitan hidup yang telah membelenggu mereka. Unjuk rasa spontan pun terjadi di berbagai kota menolak kenaikan biaya hidup yang terus melonjak, khususnya harga properti dan jasa. Seperti di negara-negara Arab, para pemuda dan mahasiswa Israellah yang menggerakkan unjuk rasa, menuntut masa depan yang lebih jelas di tengah hegemoni kekuasaan elite politik dan pengusaha kaya di negara itu. Pemuda Israel mengancam akan menggelar demonstrasi satu juta orang pada 3 September jika pemerintah tidak segera memenuhi tuntutan mereka. Masalah lama Persoalan sosial dan ekonomi yang menyulut kemarahan rakyat di Israel bukan muncul tiba-tiba. Akar masalahnya bisa dirunut mundur hingga pertengahan tahun 1980-an. Pemerintah Israel saat itu mulai menerapkan kebijakan privatisasi yang membuka jalan bagi pengusaha untuk mencengkeram ekonomi negara. Pada 1986, Pemerintah Israel menjual 90 perusahaan negara ke swasta. Tahun demi tahun privatisasi itu semakin dirasa lebih banyak kerugian daripada keuntungannya. Modal dan pasar lapangan kerja dikuasai pengusaha kaya yang melahirkan diktator pengusaha sehingga yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Kondisi kehidupan di Israel semakin buruk yang ditandai dengan penurunan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan. Kenaikan harga, khususnya properti, tidak bisa dikendalikan lagi. Mustahil bagi pemuda yang baru bekerja untuk membeli rumah. Bahkan, sekadar menyewa pun mereka kesulitan. Harga sewa rumah sebulan di Tel Aviv rata-rata 4.500 shekel atau sekitar 1.300 dollar AS. Itu artinya sekitar 60 persen penghasilan rata-rata warga kota Tel Aviv diperuntukkan untuk menyewa rumah. Harga sewa rumah sebulan di Jerusalem rata-rata 3.700 shekel atau sekitar 1.050 dollar AS. Jika mau membeli rumah, harganya gila-gilaan. Harga rumah dengan luas hanya 96 meter persegi yang terdiri atas tiga kamar di kota pantai Netanya mencapai 1,18 juta shekel atau sekitar 300.000 dollar AS. Harga rumah di Tel Aviv dan Jerusalem dengan luas yang sama jauh lebih mahal, bisa mencapai 500.000 dollar AS. Semula hanya sekelompok pengunjuk rasa menggelar aksi di depan kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menuntut pemerintah mundur. Hari demi hari unjuk rasa semakin meluas ke kota-kota di seantero Israel hingga jalan utama di kota-kota itu diduduki demonstran. PM Netanyahu segera membentuk komite menteri untuk mempelajari tuntutan pengunjuk rasa. Pemerintah berjanji menurunkan harga properti dan kebutuhan pokok. Netanyahu pun menawarkan penurunan harga tanah yang akan dibangun untuk perumahan rakyat hingga 50 persen. Namun, para pengunjuk rasa tidak langsung percaya janji pemerintah itu. Mereka bahkan menuduh pemerintah hanya menunda-nunda menyelesaikan masalah. Ketua Knesset (parlemen Israel), Reuven Rivlin, memperingatkan, jika tuntutan pengunjuk rasa tidak segera dipenuhi, tidak tertutup kemungkinan akan digelar pemilu dini yang bisa menumbangkan pemerintahan PM Netanyahu. Para analis di Israel juga memperingatkan PM Netanyahu akan bernasib seperti Hosni Mubarak di Mesir dan Zine al-Abidine Ben Ali di Tunisia yang didongkel lewat perlawanan rakyat. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar