Makin lama, kepemimpinan Presiden Soeharto semakin dirasa menyimpang dari cita-cita pendirian Orde Baru. Isu korupsi keluarga Cendana dan keluarganya mencuat. Soeharto pun mulai mencopoti pejabat yang dinilai berseberangan dengan dirinya.
Banyak yang kecewa dengan kepemimpinan Soeharto yang makin seperti diktator. Tapi sedikit yang berani bersuara. Hukuman berat dari Soeharto menanti mereka yang bersuara kritis.
16 April 1980, Soeharto berpidato di depan korps elite baret merah Kopasandha Angkatan Darat. Dia mengeluhkan sejumlah serangan politik terhadap dirinya. Soal Ibu Tien yang dituding korupsi dan soal ancaman terhadap Pancasila.
Sejumlah tokoh militer senior dan sipil kecewa. Mereka mempertanyakan sikap Soeharto yang menyeret ABRI sebagai alat kekuasaan. Mereka pun mempertanyakan kenapa setiap serangan politik pada Soeharto dianggap ancaman terhadap Pancasila.
Muncul kelompok Petisi 50 dan forum-forum diskusi yang berani mengkritik Soeharto terang-terangan.
Berikut kisah 5 jenderal yang berani melawan di tengah ancaman rezim Orde Baru.
1. Jenderal Besar AH Nasution
Ketua MPRS Jenderal AH Nasution melantik Soeharto sebagai Presiden RI kedua tahun 1967. Ironisnya Nasution kemudian menjadi salah satu pengkritik Soeharto yang paling vokal setelah kecewa dengan Soeharto.
Pak Nas, panggilan akrabnya, merupakan salah satu tokoh paling senior di Petisi 50. Rekam jejak Pak Nas sejak perang kemerdekaan tak diragukan lagi. Dia adalah konseptor perang gerilya dan pejuang kemerdekaan.
Soeharto membunuh Nasution secara politik. Pak Nas dilarang berbicara di depan umum, atau di media massa. Soeharto bersama para jenderalnya terus meminta para anggota ABRI tak terpengaruh dengan omongan Nasution. Pak Nas juga dicekal bepergian ke luar negeri.
Tahun 1997, Soeharto memberikan gelar jenderal besar untuk Nasution dan Soedirman dengan pangkat jenderal bintang lima. Tapi Soeharto pun ikut menerima anugerah jenderal besar tersebut. Banyak pihak menilai ini hanya dilakukan Soeharto untuk batu loncatan saja, agar tak terkesan menabrak etika.
2. Letjen Marinir Ali Sadikin
Siapa yang tak kenal Ali Sadikin, Gubernur legendaris DKI Jakarta. Letnan Jenderal Korps Marinir TNI AL ini terkenal berperamen keras sekaligus keras kepala. Dia ikut Petisi 50 dan mengkritik Soeharto yang otoriter.
Maka Bang Ali pun dijatuhi hukuman politik. Dia dilarang datang ke pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ). Padahal Bang Ali yang punya gagasan membuat PRJ. Bang Ali juga dilarang datang ke acara TNI AL atau Marinir. Dia juga tak boleh berbicara di forum-forum atau menjadi nara sumber.
Tak cuma itu, seluruh keluarga Bang Ali selalu dijegal saat meminta pinjaman uang dari bank. Yang lebih menyakitkan hati, sekadar pesta pernikahan pun orang takut mengundang Bang Ali.
3. Letjen Kemal Idris
Letjen Kemal Idris merupakan salah satu jenderal pendiri Orde Baru. Mantan Pangkostrad dan Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) ini terkenal suka bicara keras dan apa adanya. Ternyata hal itu mengusik Soekarno.
Kemal juga yang meminta Soeharto mundur sebagai presiden tahun 1980. Saat itu Kemal merasa Soeharto cukup tiga kali jadi presiden.
Setelah itu Kemal tak lagi dipakai. Akhirnya Kemal Idris mengurusi perusahaan sampah di DKI Jakarta. Dia pun mendapat gelar 'jenderal sampah'.
4. Letjen M Jasin
Letjen M Jasin punya peran besar membangun Orde Baru bersama Orde Baru. Dia yang menggelar operasi Trisula untuk menghancurkan sisa-sisa kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Blitar Selatan.
M Jasin dan keluarganya sangat dekat dengan Soeharto. Tapi keikutsertaannya dalam Petisi 50, membalikkan semua keadaan.
Jasin mengkritik Soeharto karena pembelian truk yang tak sesuai kebutuhan ABRI. Dia juga marah saat putrinya dilecehkan seorang keluarga Soeharto. Jasin pun kerap menyoroti peternakan Soeharto Tapos di Bogor.
Dia dikenal paling galak mengkritik Soeharto. Seperti yang lain, Soeharto pun menamatkan karir Jasin. Usaha Jasin dihambat, keluarganya tak diangkat menjadi PNS. Dia dimaki-maki sebagai orang sinting.
5. Letjen Hartono Rekso Dharsono
Bersama Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo, Letjen Hartono Rekso Dharsono adalah tiga jenderal pendiri Orde Baru. Sama dengan sejumlah jenderal lain, dia kecewa terhadap Soeharto.
HR Dharsono termasuk salah satu penentang Soeharto yang mendapat hukuman terberat. Dia dicopot sebagai Sekjen ASEAN yang pertama oleh Soeharto.
HR Dharsono juga dituduh melakukan subversi dan ikut andil meledakkan bom di BCA Pecenongan, Jakarta Pusat. Dia divonis 10 tahun, kemudian banding menjadi tujuh tahun. Banyak pihak yang menilai dakwaan terhadap Dharsono hanya dibuat-buat.
Tahun 1996, HR Dharsono meninggal. Pemerintah melarang jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
6. Jenderal Polisi Hoegeng
Tak ada seorang pun yang meragukan kejujuran Hoegeng dan komitmennya memberantas korupsi. Ketika keluarga Cendana dan Soeharto terusik, dengan gagah berani Hoegeng siap dicopot.
Kala itu kasus dugaan penyelundupan mobil mewah Robby Tjahjady diduga melibatkan kroni Soeharto dan keluarga Cendana.
Berbagai hukuman politik pun dijalani Hoegeng dengan tabah. Mulai dari dipecat, tak boleh menyanyi di TV, hingga dilarang datang ke pernikahan sahabatnya. Yang paling menyakitkan, Hoegeng juga dilarang menghadiri HUT Polri.
Hoegeng membuktikan keberaniannya melawan penguasa Soeharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar