Pepatah Romawi Kuno : “Bukan pasukan yg besar dan kuat yg dapat merebut kekuasaan melainkan opini yg dibentuk secara sistematis”. Pd jaman dahulu, opini dibentuk dr informasi yg disampaikan dari mulut ke mulut mengenai kebaikan, kebajikan, kesaktian dst dari penguasa. Informasi2 yg disampaikan itu jg lama2 dikembang menjadi mitos utk beri legitimasi dan kredibilitas penguasa di mata rakyatnya. Di era informasi dan globalisasi skrg ini, pepatah romawi kuno tsb semakin terbukti kebenarannya. Opini menjadi faktor yg sgt dominan. Berbeda dgn negara2 komunis atau otoriter yg bisa mengontrol media massa/persnya, negara demokrasi harus membuka kebebasan informasi. Bahkan salah satu syarat negara demokrasi adalah kebebasan pers, bicara, berserikat dan berkumpul. Pers jadi pilar utama demokrasi. Bahkan sering disebut2 pers sebagai pilar ke empat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sesuai dgn asal kata namanya “Press” yg berarti menekan atau penekan, pers memiliki peran sbg pengontrol, artikulasi& pembentuk opini. Pers/media massa memiliki peran sentral dan strategis dalam membentuk opini, mengarahkan kebijakan pemerintah dan sbg kelompok penekan.
Dalam suatu negara demokrasi, pemerintah atau partai yg berkuasa sangat berkepentingan dgn media massa, utamanya mendukung kebijakan2 Partai berkuasa (pemerintah) dan partai2 rivalnya (oposan) selalu berebut pengaruh utk bisa kendalikan media massa. Apalagi menjelang pemilu atau pilpres. Media massa menjadi faktor kunci dalam pemenangan pemilu / pilpres. Media massa adalah alat utama utk pembentukan opini publik. Partai2 politik dan semua pihak terkait berkepentingan dgn media massa. Apalagi partai politik. Kampanye partainya, capres2nya dan caleg2nya sangat tergantung dgn opini yg dibangun oleh media massa/press. Sebab itu, sangat wajar ketika Golkar memiliki TV One, Nasdem memiliki Metro TV (MNC menyusul), media2 ini dimanfaatkan semaksimal mgkin TV One dan Metro TV akan terus menerus secara sistemtis, masif dan terencana akan selalu menyiarkan sisi baik dari owner2nya.
Disisi lain, TV one dan Metro TV akan selalu menyiarkan secara luas segala jenis dan bentuk kelemahan para partai kompetitor ownernya. Jadi tidak usah heran, jika kesalahan sekecil apapun dari partai demokrat akan terus menerus disiarkan/diberitakan kepada publik. Bahkan pemberitaan itu dikemas dalam berbagai bentuk acara mulai dari Berita, wawancara, dialog, investigasi dst. Sebaliknya, Metro TV dan TV One TIDAK AKAN pernah menelanjangi kebusukan Nasdem atau Golkar dan Surya Paloh atau Aburizal Bakrie, Bahkan, banyak informasi2 yg disampaikan Metro TV& TV one yg sifatnya rumors, spekulatif, fitnah, rekayasa dsj, utk hancurkan demokrat. Managemen TV one dan Metro TV misalnya secara bebas dapat memilih narasumber2 yg sesuai/sejalan dengan politik media mereka. Maka terjadilah pembentukan opini sesat yg memang sudah direncanakan dgn matang sebelumnya. Terjadilah Trial By the Press yg zalim itu.
Trial by the press atau peradilan pers itu sdh menjadi “tradisi buruk” dinegara yg menganut sistem demokrasi, Banyak korban. Korban yg fenomenal akibat trial by the press adalah tewasnya lady diana. Presiden, PM atau menteri2 sdh banyak yg jatuh di LN sana. Bagi Pers rating, komersialisasi ( iklan) dan politik media adalah no. 1. Rasa keadilan, etika, hukum dst sering ditabrak oleh media. Apalagi prinsip cover by both side, prinsip ini setiap saat dilanggar oleh media dgn berlindung di balik UU pers, media tdk peduli dgn informasi yg dia sampaikan itu benar atau salah. Jika salah, ya ada kesempatan hak jawab yg umumnya tdk memadai. Media tidak peduli dengan kerusakan, kerugian dan penderitaan korban yg timbul akibat pemberitaan yg salah, fitnah atau tendensius.
Dalam sistem demokrasi, pers adalah RAJA. Pilar demokrasu yg paling berkuasa, arogan dan otoriter. Kontrol thdp pers hny oleh rakyat. Dalam suatu negara yg rakyatnya sudah cerdas, skeptis dan kritis, media2 yg sering memuat berita/informasi kualitas sampah akan mati. Tetapi dalam suatu negara yg publiknya belum begitu cerdas, umumya mereka menelan bulat2 informasi dari media meskipun itu salah/fitnah.
Nah, kondisi seperti terakhir inilah yg skrg dihadapi oleh Indonesia. Rakyat indonesia blm semuanya memiliki kecerdasan menyaring info. Maka dengan mudah terjadilah pembentukan opini2 sesat by design oleh media2 yg terafiliasi dgn partai2 politik seperti Golkar dan Nasdem. Gempuran Metro TV cs dan TV one yg setiap detik beritakan ttg kebusukan2 partai demokrat dianggap publik sebagai suatu kebenaran. Media2 itu sedang menjalankan teori Hitler yang mengatakan : kebohongan yg disampaikan secara terus menerus akan dianggap sbg kebenaran. Saat ini sangat sedikit media yg bebas, netral dan berimbang dalam pemberitaan. 90% telah menjadi alat politik utk bentuk opini. Tentu opini yg dimaksud disini adalah opini pesanan yg sesuai dgn politik media atau kehendak pemilik2nya. Lalu bgmn rakyat bersikap?
Sebenarnya mudah. Simak saja acara2/pemberitaan media2 tsb seperti Metro TV dan TV one. Jika sdh dinilai tendesius, tinggalkan saja !. Media2 yg sudah tdk bebas, netral dan berimbang lagi pemberitaannya adalah termasuk kategori media sampah atau media propaganda. Media sampah atau media propaganda itu tidak pernah mementingkan kebutuhan dan tanggungjawab publik. Semata2 hny alat politik $ rating. Dan jangan lupa, sangat sering TV2, koran, majalah dst itu menjadi corong dan kolaborator kepentingan asing dan ada hidden agenda. Bagi media hal itu sdh biasa, yang penting mereka dapat bayaran dan bisa menopang kelangsungan hidup medianya. Inilah bahayanya media
Cukup sekian dulu, next time kita sambung lagi ttg peran penting media dalam membentuk opini, salah atau benar, berkualias atau sampah.
By: TrioMacan2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar