Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden
TELAH lebih dari sepuluh hari ini, berita kecurangan dan manipulasi suara untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden RI 2004 maupun 2009, kembali bergulir. Tetapi, hanya melalui media sosial di jaringan dunia maya, dan boleh dikatakan tak mendapat tempat di kolom-kolom pemberitaan media cetak maupun televisi. Sumber berita, adalah Ir Indro Tjahjono, seorang aktivis gerakan kritis mahasiswa tahun 1978, seangkatan antara lain dengan Dr Rizal Ramli dan Ir Heri Akhmadi.
Berbicara di 'Rumah Perubahan', Jalan Gajah Mada Jakarta pekan lalu, Indro Tjahjono mengungkapkan bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah melakukan kecurangan untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua Pemilihan Presiden, baik di tahun 2004 maupun tahun 2009, melalui manipulasi sistem Informasi Teknologi (IT).
Indro merinci, dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2004, semua PC (personal computer) di KPU yang digunakan untuk penghitungan suara, telah diset-up dengan program khusus di malam hari. "Ketika tidak ada orang di KPU, malam-malam ada yang datang. Semua PC diisi program untuk memenangkan SBY", kata Indro. Dan, "yang terdongkrak secara ajaib adalah suara Partai Demokrat".
Manipulasi dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2009, lebih maju lagi selangkah. Semua unit PC yang akan dimasukkan ke KPU lebih dulu telah diset-up dengan program tertentu. Kecurangan IT pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009 ini, menurut Indro, memang lebih complicated. "Pada 2009, tidak cukup dicurangi dari sisi IT, tetapi juga dilakukan rekaya manual. Salah satunya dari DPT (Daftar Pemilih Tetap). Rekayasa manual dicocokkan untuk pengontrolan suara dari sisi IT, agar jangan sampai hitungan IT melonjak, tetapi manualnya tidak cocok". Rekayasa manual itu, demikian Indro lebih jauh, diback-up dengan manipulasi IT. "Ini untuk memberi patokan kepada publik bahwa kemenangan yang diraih SBY atau Partai Demokrat, cukup besar. IT yang sudah diset-up akan mendekati hitungan suara manual yang sudah direkayasa melalui DPT".
Bila apa yang diungkapkan Indro Tjahjono ini mengandung kebenaran, ini adalah sesuatu yang spektakular sebenarnya. Namun, nyatanya berita itu tak mendapat perhatian spektakular dan tempat yang layak dalam kolom pemberitaan media cetak maupun media televisi. Tentu, ini cukup mengherankan. Apakah Indro Tjahjono yang di masa lampau punya reputasi aktivis gerakan moral kini surut dalam aspek kepercayaan publik dan atau khalayak politik, karena dia dan Rizal Ramli serta kawan-kawan, sudah dipandang sebagai bagian dari permainan politik praktis saat ini? Jadi, wajar kalau mereka melontarkan berbagai cara untuk mendiskreditkan lawan, katakanlah, dalam hal ini, Susilo Bambang Yudhoyono, terhadap siapa Rizal dan kawan-kawan sangat kritis? Dan karena tak ada reaksi signifikan di tengah publik, maka para pendukung SBY dan Partai Demokrat pun merasa tak perlu bereaksi yang malah akan memperbesar isu.
SEBENARNYA, Indro Tjahjono dan kawan-kawan di zamannya di tahun 1978, punya reputasi dan kredibilitas berharga dalam konteks gerakan kritis terhadap rezim Soeharto. Berikut ini catatan yang diangkat dari buku 'Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter' (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004) tentang gerakan kritis mahasiswa di tahun 1978. Gerakan ini adalah gerakan pertama yang menyatakan terang-terangan menolak Jenderal Soeharto melanjutkan kekuasaannya.
Setelah Pemilihan Umum 1977, sejumlah dewan dan senat mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Bandung, mencetuskan Memorandum Mahasiswa Bandung yang berisi tuntutan perbaikan tubuh MPR/DPR-RI. Memorandum itu mereka sampaikan tepat pada hari pelantikan anggota MPR/DPR baru hasil Pemilihan Umum 1977, tanggal 1 Oktober 1977. Sebelumnya, 13 September 1977, sejumlah mahasiswa ITB, IPB dan UI bahkan membentuk 'Dewan Perwakilan Rakyat Sementara' mengganti DPR yang sedang reses, untuk mengisi apa yang mereka anggap sebagai 'kekosongan' ketatanegaraan setelah 'non aktif'nya DPR lama sementara DPR baru belum dilantik. Laksus Kopkamtibda (Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Jaya merasa perlu untuk menahan 8 mahasiswa anggota 'DPR Sementara' ini, sebagai bagian dari tindakan represif yang tak dapat ditawar lagi. Sikap represif kalangan penguasa, memicu aksi-aksi mahasiswa yang lebih besar dan lebih besar lagi. Dengan momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1977, usai upacara peringatan, ribuan mahasiswa dan pelajar Bandung turun berbaris ke jalan-jalan kota Bandung dalam 'kawalan' panser tentara.
Suatu ketegangan baru telah terpicu. Tatkala kritik mahasiswa makin meningkat, kalangan kekuasaan yang merasa 'berhasil' dengan cara-cara keras dalam memadamkan Peristiwa 15 Januari 1974 sebelumnya, kembali mengulangi sikap-sikap keras dengan kadar yang semakin tinggi. Pada bulan Januari 1978 menuju bulan Pebruari, Menteri P&K Sjarif Thajeb mengikuti perintah Kopkamtib, membubarkan DM ITB (1977-1978) yang dipimpin oleh Heri Akhmadi. Sebab musabab utama pastilah karena keluarnya pernyataan mahasiswa 16 Januari 1978 yang menyatakan tidak setuju kursi Presiden diduduki dua kali berturut-turut oleh orang yang sama. Ini berarti, mahasiswa tidak setuju Soeharto menjadi Presiden untuk kedua kalinya dalam pemilihan presiden pada SU-MPR yang akan berlangsung Maret 1978. Di depan kampus ITB terpampang jelas spanduk yang dibuat mahasiswa: Tidak berkehendak dan tidak menginginkan pencalonan kembali Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersamaan dengan pernyataan penolakan itu, mahasiswa mengeluarkan 'Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978'. Penguasa segera melarang secara resmi 'Buku Putih' tersebut. Tindakan pembubaran dan aneka tekanan lainnya dilakukan pula terhadap DM-DM yang lain di Bandung, terutama pada beberapa perguruan tinggi utama seperti antara lain Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan IKIP.
Tampaknya saat itu tekanan utama ditujukan ke ITB. Tanggal 21 Januari 1978 Radio ITB 8-EH yang dianggap sebagai corong suara mahasiswa, disegel oleh Laksus Kopkamtibda Jawa Barat. Bersamaan dengan itu beberapa tokoh mahasiswa, terutama dari ITB, ditangkapi dan dikenakan penahanan. Muncul gelombang protes sebagai tanda solidaritas dari mahasiswa Bandung. DM ITB lalu menyerukan suatu mogok kuliah melalui 'Pernyataan tidak mengikuti kegiatan akademis' (28 Januari 1978). Mereka juga menuntut segera membebaskan mahasiswa-mahasiswa yang ditahan, mencabut pembungkaman pers, dan menarik tuduhan-tuduhan sepihak terhadap mahasiswa.
Kampus ITB pada hari-hari terakhir Januari 1978 itu dipenuhi poster, dan mahasiswa betul-betul mogok kuliah. Mahasiswa memasang spanduk yang bertuliskan "Turunkan Soeharto !". Lalu DM ITB mengeluarkan suatu deklarasi yang menyatakan tidak mempercayai pemerintah Orde Baru, tepat di akhir Januari 1978. Untuk berjaga-jaga terhadap berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan mahasiswa ITB melakukan penjagaan dan pengawasan atas pintu-pintu kampus, agar tidak dimasuki oleh orang-orang luar kampus yang tidak diinginkan. Namun jawaban penguasa adalah lain sama sekali. Tentara menyerbu kampus dengan mengerahkan pasukan-pasukan bersenjata lengkap dipimpin sejumlah komandan muda yang kelak akan menduduki posisi-posisi penting dalam jajaran militer dan kekuasaan. Dengan popor dan bayonet mereka merasuk ke dalam kampus dan menduduki kampus. Mereka mengerahkan pula tank dan panser serta memblokade kampus. Beberapa kampus utama Bandung lainnya juga mengalami hal yang sama dan ditempatkan dalam pengawasan militer. Pendudukan kampus ITB, Universitas Padjadjaran, IKIP dan kampus Bandung lainnya berlangsung hingga 25 Maret 1978, hampir dua bulan lamanya.
Dalam rangkaian peristiwa pendudukan kampus 1978 di Bandung ini, beberapa tokoh mahasiswa ditangkap, termasuk Heri Akhmadi dan Indro Tjahjono. Tetapi Rizal Ramli, secara dini berhasil lolos menyelamatkan diri.
TAMPIL dan berperannya perwira-perwira muda dalam pendudukan kampus-kampus di Bandung 1978, merupakan catatan tersendiri. Dalam Peristiwa 1978 itu, rezim mengerahkan pasukan dengan komandan-komandan muda –hasil regenerasi tentara, lulusan akademi militer– seperti Feisal Tanjung dan Surjadi Sudirdja. Pendudukan kampus dilakukan oleh beberapa SSK (satuan setingkat kompi) dengan cara-cara kekerasan, menggunakan popor, bayonet dan tendangan mengatasi perlawanan mahasiswa Angkatan 1978. Betul-betul khas militeristik, yang menambah lagi daftar luka traumatik dalam sejarah, khususnya dalam hubungan mahasiswa dan militer. Pertama kalinya sejarah Indonesia mencatat pendudukan kampus perguruan tinggi sepenuhnya oleh kekuasaan militer hanya karena berbeda pendapat dan konsep tentang kekuasaan. Sesuatu yang oleh kolonial Belanda sekalipun tak pernah dilakukan.
Peristiwa Malari 1974 di Jakarta sebelumnya, memang seolah mendorong pula tentara 'memasuki' kampus, namun hanya dalam waktu ringkas dan bentuk yang sedikit berbeda. Kedua preseden inilah awal yang kelak membuat hampir tidak pernah ada perwira militer generasi penerus lulusan akademi militer yang mempunyai keberanian untuk tampil berkomunikasi dengan kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Di tangan generasi baru ABRI ini jurang komunikasi dengan kampus telah menjadi semakin menganga. Apalagi setelah secara nyata para perwira produk Akademi ABRI ini 'bersimpuh' kepada Jenderal Soeharto, ikut menikmati kekuasaan dan menjadi kaki dan tangan bagi Soeharto dengan Orde Barunya yang telah tergelincir korup penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak pelak lagi banyak di antara perwira generasi baru ini kemudian secara tragis dicatat sebagai 'musuh' rakyat. Banyak dari mereka kemudian dijuluki sebagai musuh demokrasi, penindas hak asasi manusia dan pengabdi kekuasaan otoriter serta menjadi pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme.
Catatan tersebut di atas, mungkin bisa menjadi referensi tambahan saat menilai, para jenderal yang kini ikut berperan dalam kekuasaan di masa yang dianggap berlandaskan supremasi sipil sekarang ini. Presiden Indonesia sekarang, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki latar belakang akademi militer masa Soeharto. Dalam jajaran kekuasaan SBY terdapat beberapa tokoh yang juga berlatar belakang pendidikan militer, seperti misalnya Sudi Silalahi, Djoko Suyanto dan Mangindaan dalam posisi sipil. Selain itu, di tulang punggung kekuasaannya, ada sebuah institusi Polri yang belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari gaya militeristik yang diperoleh melalui pencetakan perwira dengan penambahan kurikulum yang bermuatan pendidikan militer sejak tahun 1967-1968.
JIKA tudingan Indro Tjahjono tentang kecurangan Pemilihan Umum Legislatif maupun Pemilihan Umum Presiden memiliki dasar kebenaran dan terbukti pada waktunya nanti, berarti memang kebiasaan curang dalam pemilihan umum di Indonesia tak pernah sembuh. Baik dalam Pemilihan Umum 1955 maupun sejumlah Pemilihan Umum Orde Baru sejak 1971. Dalam Pemilihan Umum 1971 dan beberapa pemilihan umum sesudahnya, militer –khususnya Angkatan Darat– berperan sebagai pelaku kecurangan. Dalam Pemilihan Umum 1971, tentara melalui aparat terbawahnya, yakni Koramil-koramil, menjalankan intimidasi agar rakyat di pedesaan memilih Golkar. Begitu pula dalam pemilihan-pemilihan umum berikut, meskipun dengan cara-cara yang kadang kala di sana-sini sedikit lebih halus. Di masa Departemen Dalam Negeri dipimpin Jenderal Amirmahmud, aparat Dalam Negeri menjadi buldoser bantuan bagi tentara dalam memenangkan Golkar dalam beberapa pemilihan umum. Hanya dalam Pemilihan Umum 1987 terjadi sedikit perbedaan, tentara di bawah kepemimpinan Jenderal LB Murdani tidak memberi dukungan aktif kepada Golkar seperti masa-masa sebelumnya dilakukan ABRI. Bahkan, kala itu di sana sini di berbagai daerah tentara cenderung mempersulit Golkar.
SUNGGUH menarik bahwa pada masa pasca Soeharto, kekuatan-kekuatan politik sipil, termasuk mereka yang merasa selalu dirugikan dalam pemilihan-pemilihan umum Orde Baru, senantiasa menyebutkan pemilihan-pemilihan umum masa reformasi, khususnya Pemilihan Umum 1999, sepenuhnya bersih dan paling demokratis sepanjang sejarah Pemilihan Umum Indonesia. Gegap gempita klaim kebersihan pemilu tersebut menenggelamkan cerita di balik berita, bahwa sebenarnya Pemilihan Umum 1999 itu juga penuh rekayasa. Partai-partai kecil yang banyak, karena tak punya saksi-saksi di TPS-TPS pelosok, habis dijarah perolehan suaranya oleh beberapa partai yang lebih besar pengorganisasiannya. Selain itu, partai-partai kecil yang puluhan jumlahnya itu pun 'dirampok' melalui sistem penghitungan alokasi kursi. Upaya mereka melalui protes agar perolehan suara mereka –yang bila diakumulasi, mencapai jumlah puluhan juta suara yang secara kuantitatif setara dengan puluhan kursi DPR– 'dikembalikan', tak menemukan jalan penyelesaian, baik melalui KPU maupun PPI.
Ada rumour politik, bahwa dalam Pemilu 1999, sebenarnya suara Golkar sedikit lebih besar dari perolehan PDIP, tetapi kalangan tentara dengan sisa-sisa pengaruhnya, dengan pertimbangan stabilitas keamanan, menyodorkan skenario PDIP sebagai pemenang. Bila Golkar yang dimenangkan akan mencuat tuduhan politis bahwa Pemilu 1999 curang dan direkayasa.
Klaim bahwa pemilu-pemilu pasca Soeharto bersih, menciptakan sikap obsesif, dan pada akhirnya seakan-akan merupakan semacam 'aliran kepercayaan' tersendiri. Semua pengungkapan bahwa kecurangan –terlepas dari berapa besar kadarnya– masih mewarnai pemilihan-pemilihan umum hingga kini, akan selalu ditolak. Itu sebabnya, setiap protes tentang adanya kecurangan selalu menemui jalan buntu penyelesaian. Selain sikap obsesif tadi, juga cukup kuat anggapan, bahwa sebagai peristiwa politik –yang terlanjur dikonotasikan terbiasa bergelimang dengan aneka kelicikan– jamak bila pemilihan umum diwarnai kecurangan. Maka, dianggap, tak perlu terlalu serius mencari kebenaran di situ. Hanya yang 'kalah' saja yang mencak-mencak.
MUNGKIN satu rangkaian 'dialog' tanya jawab di website yang diasuh Wimar Witoelar, Perspektif Online, berikut ini, bisa menjadi semacam ilustrasi, atau menjadi cermin, untuk itu semua.
Ketika website Wimar, Perspektif Online, mengutip berita bahwa Mahkamah Konstitusi (12 Agustus 2009) menolak gugatan terhadap hasil Pilpres 2009 oleh pasangan Megawati Soekarnoputeri-Prabowo Subianto (koalisi PDIP-Gerindra) maupun pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (koalisi Partai Golkar-Hanura), muncul 17 komentar pembaca. Kita kutip beberapa di antaranya.
Komentar ketiga (dari Sunu Gunarto, 13 Agustus) menyebutkan: "Pertandingan telah usai. Kalah menang dalam pertandingan itu wajar. Yang kalah protes karena menganggap wasit tidak fair dalam memimpin pertandingan itu juga wajar. Patut diapresiasi bahwa yang kalah selama ini tidak berbuat anarkis sehingga tidak merugikan orang lain/rakyat. Semoga yang menang juga tidak menjadi sombong (umuk). Pendidikan politik yang bagus bagi rakyat kalau semua sengketa pemilu ini diselesaikan lewat jalur hukum. Selamat kepada pemenang dan memberi apresiasi (penghargaan) sangat tinggi kepada yang kalah yang dapat menerima kekalahan dengan legowo…….".
Komentar kelima (dari Mundhari, 13 Agustus), menyebutkan: "Kemajuan besar demokrasi di Indonesia. Para politikus dalam melaksanakan politiknya pada proporsi benar. Yang kalah dan merasa dirugikan melakukan protes lewat jalur hukum. Setelah putus mereka menerima secara legawa dan menghormati keputusan. Efeknya sungguh akan besar. Indonesia akan damai dan tenang, sehingga tersedia ruang gerak untuk mengatasi keprihatinan di bidang ekonomi, agar segera pulih. Harapan selanjutnya dalam penyusunan kabinet, presiden terpilih diberi keleluasaan sesuai hak prerogatifnya, dengan cara tidak terjadi politik dagang sapi. Konstelasi politik hasil pil-leg agar dapat dijalankan secara konsekuen. Dan yang paling urgen, para wakil rakyat di parlemen kembali ingat bahwa mereka itu pembawa amanah rakyat. Jadi fokusnya juga kepada kepentingan rakyat. Bukan kepada siapa siapa".
Komentar ketujuh (Agus Sendjaya, 13 Agustus), memperkuat: "Keputusan sudah ada, tinggal menunggu yang berkompetisi saling berjabat tangan. Mudah-mudahan para pemimpin kita termasuk manusia yang beradab tau kapan menyerang dan tau pula kapan saatnya mengibarkan bendera putih. Maju terus demokrasi".
Komentar kesepuluh (dari Rum Aly, 22 Agustus), berbeda: "Tak pernah ada pemilu Indonesia yang betul-betul bersih, dari 1955, masa Soeharto dan 1999 sampai kini. Kecurangan pemilu takkan pernah terbongkar tuntas, karena memang tak ada keinginan bersama yang kuat untuk itu. Mana mungkin suatu kecurangan terstruktur, sistimatis dan massive, bisa diungkapkan secara musiman, atau oleh suatu sidang yang singkat dengan gugatan yang juga lemah persiapannya etc. Perlu digagaskan suatu komisi untuk menyelidiki/meneliti penyimpangan pemilu-pemilu Indonesia dari waktu ke waktu untuk kepentingan memelihara masa depan demokrasi di Indonesia".
Pengelola Perspektif Online, Wimar Witoelar, turun tangan menjawab –ada kemungkinan diwakili oleh host lain, atas namanya– pada hari yang sama: "WALAH! Kasian, membandingkan Pemilu sekarang dengan Pemilu masa Soeharto. Memang anda tidak tahu, Pemilu Orde Baru sudah ditentukan hasilnya sebelumnya, partainya pun dibentuk oleh Soeharto. Pemilu tahun 1955, bersih. Pemilu 1999, 2004, 2009 bersih. Pemilu bersih tentu selalu dengan banyak catatan, seperti di semua negara demokrasi. Tentu hak anda untuk tidak percaya, cuman kasihan saja kalau tidak tahu".
Komentar keempatbelas (dari Santo, 23 Agustus) menyanggah Rum Aly. Dituliskan:
"Saya rasa, statement diatas tidak sepenuhnya benar, karena: 1. Meskipun masih ada yang perlu diperbaiki (misalnya: kualitas KPU, BAWASLU dll), namun sesungguhnya pemilu Indonesia jelas sekali sudah semakin dewasa, semakin bersih, dan semakin demokratis dibandingkan jaman Soeharto. 2. Karena kecurangan-kecurangan pemilu tersebut pada jaman Soeharto makanya terjadi koreksi besar-besaran dengan reformasi. Jadi sangat berbeda donk Pemilu jaman Soeharto dan sekarang. 3. Bila Capres/Cawapres nomor 1 dan 3 mempunyai bukti yang kuat dan benar serta matang, maka dengan sidang yang singkatpun dapat dibuat keputusan sidang yang sangat baik. Masalahnya Capres/Cawapres tersebut tidak punya bahan bukti yang kuat tersebut (atau mengada-ada saja gugatannya), sehingga gagal di sidang. 4. Kita perlu bersikap positif dan menghargai hasil-hasil yang sudah dicapai dalam semua proses ini".
Rum Aly menjawab (komentar kelimabelas, 23 Agustus), yang agaknya terutama ditujukan kepada Wimar: "Mengenai pemilu orde baru saya kira kita sama tahunya mengenai betapa itu semua sudah dirancang lebih dulu hasilnya. Tetapi mengatakan bahwa pemilu pasca Soeharto juga berlangsung tidak bersih, bukan sesuatu yang perlu dikasihani. Ini bukan soal membandingkan, bung Wimar, tetapi soal jangan menutup mata terhadap kecurangan pemilu manapun, bila kita menghendaki pemilu yang lebih baik dan masa depan demokrasi yang lebih baik. Bukan pula soal hak untuk percaya atau tidak percaya yang subjektif, lalu menetapkan bersih atau tidak bersih, tapi soal mencari kebenaran objektif".
Komentar keenambelas (R. Januardi, 25 Agustus) bernada membenarkan pandangan Rum Aly: "Kalau menilai pemilu, jangan pilih-pilih tebu dong, atau kayak belah bambu, satu diangkat yang lain diinjak. Kalau ada curangnya, besar atau kecil, ya tetap aja curang, tidak bisa ditolerir. Jangan permissive. Kalau permissive, ya curangnya bisa makin menjadi dan rame-rame".
Komentar ketujuhbelas (Frans C, 4 September 2009) menyudahi 'dialog' ini dengan mengembalikan persoalan ke tangan Tuhan: "Jika ingin mencari pemilu yang benar-benar sempurna dan bebas dari kecurangan sekecil apapun, selamat!!! Sampai mati pun anda tidak akan pernah menemukannya. Kesempurnaan dan kebenaran yang sejati hanya milik Tuhan".
BAGAIMANA dengan tudingan Indro Tjahjono tentang kecurangan Pemilihan Umum di tahun 2004 maupun 2009? Kelihatannya, pengungkapan itu sepi reaksi, dari media pers maupun dari mereka yang dituduh. Apakah sebaiknya kita juga mengembalikan persoalannya ke tangan Tuhan saja? Sampai bertemu pada 2014 dengan peristiwa dan kecurangan yang sama, sesuai kelaziman dari pemilihan umum ke pemilihan umum….
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)
berita terkait :
Editor: Rizal Hasan
http://www.lensaindonesia.com/2012/07/03/terungkap-sby-jadi-presiden-karena-kecurangan-sistem-it.html
Editor: andiono
http://www.lensaindonesia.com/2012/07/03/sistem-it-kpu-diduga-sudah-disetting.html
TELAH lebih dari sepuluh hari ini, berita kecurangan dan manipulasi suara untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden RI 2004 maupun 2009, kembali bergulir. Tetapi, hanya melalui media sosial di jaringan dunia maya, dan boleh dikatakan tak mendapat tempat di kolom-kolom pemberitaan media cetak maupun televisi. Sumber berita, adalah Ir Indro Tjahjono, seorang aktivis gerakan kritis mahasiswa tahun 1978, seangkatan antara lain dengan Dr Rizal Ramli dan Ir Heri Akhmadi.
Berbicara di 'Rumah Perubahan', Jalan Gajah Mada Jakarta pekan lalu, Indro Tjahjono mengungkapkan bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah melakukan kecurangan untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua Pemilihan Presiden, baik di tahun 2004 maupun tahun 2009, melalui manipulasi sistem Informasi Teknologi (IT).
Indro merinci, dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2004, semua PC (personal computer) di KPU yang digunakan untuk penghitungan suara, telah diset-up dengan program khusus di malam hari. "Ketika tidak ada orang di KPU, malam-malam ada yang datang. Semua PC diisi program untuk memenangkan SBY", kata Indro. Dan, "yang terdongkrak secara ajaib adalah suara Partai Demokrat".
Manipulasi dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2009, lebih maju lagi selangkah. Semua unit PC yang akan dimasukkan ke KPU lebih dulu telah diset-up dengan program tertentu. Kecurangan IT pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009 ini, menurut Indro, memang lebih complicated. "Pada 2009, tidak cukup dicurangi dari sisi IT, tetapi juga dilakukan rekaya manual. Salah satunya dari DPT (Daftar Pemilih Tetap). Rekayasa manual dicocokkan untuk pengontrolan suara dari sisi IT, agar jangan sampai hitungan IT melonjak, tetapi manualnya tidak cocok". Rekayasa manual itu, demikian Indro lebih jauh, diback-up dengan manipulasi IT. "Ini untuk memberi patokan kepada publik bahwa kemenangan yang diraih SBY atau Partai Demokrat, cukup besar. IT yang sudah diset-up akan mendekati hitungan suara manual yang sudah direkayasa melalui DPT".
Bila apa yang diungkapkan Indro Tjahjono ini mengandung kebenaran, ini adalah sesuatu yang spektakular sebenarnya. Namun, nyatanya berita itu tak mendapat perhatian spektakular dan tempat yang layak dalam kolom pemberitaan media cetak maupun media televisi. Tentu, ini cukup mengherankan. Apakah Indro Tjahjono yang di masa lampau punya reputasi aktivis gerakan moral kini surut dalam aspek kepercayaan publik dan atau khalayak politik, karena dia dan Rizal Ramli serta kawan-kawan, sudah dipandang sebagai bagian dari permainan politik praktis saat ini? Jadi, wajar kalau mereka melontarkan berbagai cara untuk mendiskreditkan lawan, katakanlah, dalam hal ini, Susilo Bambang Yudhoyono, terhadap siapa Rizal dan kawan-kawan sangat kritis? Dan karena tak ada reaksi signifikan di tengah publik, maka para pendukung SBY dan Partai Demokrat pun merasa tak perlu bereaksi yang malah akan memperbesar isu.
SEBENARNYA, Indro Tjahjono dan kawan-kawan di zamannya di tahun 1978, punya reputasi dan kredibilitas berharga dalam konteks gerakan kritis terhadap rezim Soeharto. Berikut ini catatan yang diangkat dari buku 'Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter' (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004) tentang gerakan kritis mahasiswa di tahun 1978. Gerakan ini adalah gerakan pertama yang menyatakan terang-terangan menolak Jenderal Soeharto melanjutkan kekuasaannya.
Setelah Pemilihan Umum 1977, sejumlah dewan dan senat mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Bandung, mencetuskan Memorandum Mahasiswa Bandung yang berisi tuntutan perbaikan tubuh MPR/DPR-RI. Memorandum itu mereka sampaikan tepat pada hari pelantikan anggota MPR/DPR baru hasil Pemilihan Umum 1977, tanggal 1 Oktober 1977. Sebelumnya, 13 September 1977, sejumlah mahasiswa ITB, IPB dan UI bahkan membentuk 'Dewan Perwakilan Rakyat Sementara' mengganti DPR yang sedang reses, untuk mengisi apa yang mereka anggap sebagai 'kekosongan' ketatanegaraan setelah 'non aktif'nya DPR lama sementara DPR baru belum dilantik. Laksus Kopkamtibda (Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Jaya merasa perlu untuk menahan 8 mahasiswa anggota 'DPR Sementara' ini, sebagai bagian dari tindakan represif yang tak dapat ditawar lagi. Sikap represif kalangan penguasa, memicu aksi-aksi mahasiswa yang lebih besar dan lebih besar lagi. Dengan momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1977, usai upacara peringatan, ribuan mahasiswa dan pelajar Bandung turun berbaris ke jalan-jalan kota Bandung dalam 'kawalan' panser tentara.
Suatu ketegangan baru telah terpicu. Tatkala kritik mahasiswa makin meningkat, kalangan kekuasaan yang merasa 'berhasil' dengan cara-cara keras dalam memadamkan Peristiwa 15 Januari 1974 sebelumnya, kembali mengulangi sikap-sikap keras dengan kadar yang semakin tinggi. Pada bulan Januari 1978 menuju bulan Pebruari, Menteri P&K Sjarif Thajeb mengikuti perintah Kopkamtib, membubarkan DM ITB (1977-1978) yang dipimpin oleh Heri Akhmadi. Sebab musabab utama pastilah karena keluarnya pernyataan mahasiswa 16 Januari 1978 yang menyatakan tidak setuju kursi Presiden diduduki dua kali berturut-turut oleh orang yang sama. Ini berarti, mahasiswa tidak setuju Soeharto menjadi Presiden untuk kedua kalinya dalam pemilihan presiden pada SU-MPR yang akan berlangsung Maret 1978. Di depan kampus ITB terpampang jelas spanduk yang dibuat mahasiswa: Tidak berkehendak dan tidak menginginkan pencalonan kembali Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersamaan dengan pernyataan penolakan itu, mahasiswa mengeluarkan 'Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978'. Penguasa segera melarang secara resmi 'Buku Putih' tersebut. Tindakan pembubaran dan aneka tekanan lainnya dilakukan pula terhadap DM-DM yang lain di Bandung, terutama pada beberapa perguruan tinggi utama seperti antara lain Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan IKIP.
Tampaknya saat itu tekanan utama ditujukan ke ITB. Tanggal 21 Januari 1978 Radio ITB 8-EH yang dianggap sebagai corong suara mahasiswa, disegel oleh Laksus Kopkamtibda Jawa Barat. Bersamaan dengan itu beberapa tokoh mahasiswa, terutama dari ITB, ditangkapi dan dikenakan penahanan. Muncul gelombang protes sebagai tanda solidaritas dari mahasiswa Bandung. DM ITB lalu menyerukan suatu mogok kuliah melalui 'Pernyataan tidak mengikuti kegiatan akademis' (28 Januari 1978). Mereka juga menuntut segera membebaskan mahasiswa-mahasiswa yang ditahan, mencabut pembungkaman pers, dan menarik tuduhan-tuduhan sepihak terhadap mahasiswa.
Kampus ITB pada hari-hari terakhir Januari 1978 itu dipenuhi poster, dan mahasiswa betul-betul mogok kuliah. Mahasiswa memasang spanduk yang bertuliskan "Turunkan Soeharto !". Lalu DM ITB mengeluarkan suatu deklarasi yang menyatakan tidak mempercayai pemerintah Orde Baru, tepat di akhir Januari 1978. Untuk berjaga-jaga terhadap berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan mahasiswa ITB melakukan penjagaan dan pengawasan atas pintu-pintu kampus, agar tidak dimasuki oleh orang-orang luar kampus yang tidak diinginkan. Namun jawaban penguasa adalah lain sama sekali. Tentara menyerbu kampus dengan mengerahkan pasukan-pasukan bersenjata lengkap dipimpin sejumlah komandan muda yang kelak akan menduduki posisi-posisi penting dalam jajaran militer dan kekuasaan. Dengan popor dan bayonet mereka merasuk ke dalam kampus dan menduduki kampus. Mereka mengerahkan pula tank dan panser serta memblokade kampus. Beberapa kampus utama Bandung lainnya juga mengalami hal yang sama dan ditempatkan dalam pengawasan militer. Pendudukan kampus ITB, Universitas Padjadjaran, IKIP dan kampus Bandung lainnya berlangsung hingga 25 Maret 1978, hampir dua bulan lamanya.
Dalam rangkaian peristiwa pendudukan kampus 1978 di Bandung ini, beberapa tokoh mahasiswa ditangkap, termasuk Heri Akhmadi dan Indro Tjahjono. Tetapi Rizal Ramli, secara dini berhasil lolos menyelamatkan diri.
TAMPIL dan berperannya perwira-perwira muda dalam pendudukan kampus-kampus di Bandung 1978, merupakan catatan tersendiri. Dalam Peristiwa 1978 itu, rezim mengerahkan pasukan dengan komandan-komandan muda –hasil regenerasi tentara, lulusan akademi militer– seperti Feisal Tanjung dan Surjadi Sudirdja. Pendudukan kampus dilakukan oleh beberapa SSK (satuan setingkat kompi) dengan cara-cara kekerasan, menggunakan popor, bayonet dan tendangan mengatasi perlawanan mahasiswa Angkatan 1978. Betul-betul khas militeristik, yang menambah lagi daftar luka traumatik dalam sejarah, khususnya dalam hubungan mahasiswa dan militer. Pertama kalinya sejarah Indonesia mencatat pendudukan kampus perguruan tinggi sepenuhnya oleh kekuasaan militer hanya karena berbeda pendapat dan konsep tentang kekuasaan. Sesuatu yang oleh kolonial Belanda sekalipun tak pernah dilakukan.
Peristiwa Malari 1974 di Jakarta sebelumnya, memang seolah mendorong pula tentara 'memasuki' kampus, namun hanya dalam waktu ringkas dan bentuk yang sedikit berbeda. Kedua preseden inilah awal yang kelak membuat hampir tidak pernah ada perwira militer generasi penerus lulusan akademi militer yang mempunyai keberanian untuk tampil berkomunikasi dengan kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Di tangan generasi baru ABRI ini jurang komunikasi dengan kampus telah menjadi semakin menganga. Apalagi setelah secara nyata para perwira produk Akademi ABRI ini 'bersimpuh' kepada Jenderal Soeharto, ikut menikmati kekuasaan dan menjadi kaki dan tangan bagi Soeharto dengan Orde Barunya yang telah tergelincir korup penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak pelak lagi banyak di antara perwira generasi baru ini kemudian secara tragis dicatat sebagai 'musuh' rakyat. Banyak dari mereka kemudian dijuluki sebagai musuh demokrasi, penindas hak asasi manusia dan pengabdi kekuasaan otoriter serta menjadi pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme.
Catatan tersebut di atas, mungkin bisa menjadi referensi tambahan saat menilai, para jenderal yang kini ikut berperan dalam kekuasaan di masa yang dianggap berlandaskan supremasi sipil sekarang ini. Presiden Indonesia sekarang, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki latar belakang akademi militer masa Soeharto. Dalam jajaran kekuasaan SBY terdapat beberapa tokoh yang juga berlatar belakang pendidikan militer, seperti misalnya Sudi Silalahi, Djoko Suyanto dan Mangindaan dalam posisi sipil. Selain itu, di tulang punggung kekuasaannya, ada sebuah institusi Polri yang belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari gaya militeristik yang diperoleh melalui pencetakan perwira dengan penambahan kurikulum yang bermuatan pendidikan militer sejak tahun 1967-1968.
JIKA tudingan Indro Tjahjono tentang kecurangan Pemilihan Umum Legislatif maupun Pemilihan Umum Presiden memiliki dasar kebenaran dan terbukti pada waktunya nanti, berarti memang kebiasaan curang dalam pemilihan umum di Indonesia tak pernah sembuh. Baik dalam Pemilihan Umum 1955 maupun sejumlah Pemilihan Umum Orde Baru sejak 1971. Dalam Pemilihan Umum 1971 dan beberapa pemilihan umum sesudahnya, militer –khususnya Angkatan Darat– berperan sebagai pelaku kecurangan. Dalam Pemilihan Umum 1971, tentara melalui aparat terbawahnya, yakni Koramil-koramil, menjalankan intimidasi agar rakyat di pedesaan memilih Golkar. Begitu pula dalam pemilihan-pemilihan umum berikut, meskipun dengan cara-cara yang kadang kala di sana-sini sedikit lebih halus. Di masa Departemen Dalam Negeri dipimpin Jenderal Amirmahmud, aparat Dalam Negeri menjadi buldoser bantuan bagi tentara dalam memenangkan Golkar dalam beberapa pemilihan umum. Hanya dalam Pemilihan Umum 1987 terjadi sedikit perbedaan, tentara di bawah kepemimpinan Jenderal LB Murdani tidak memberi dukungan aktif kepada Golkar seperti masa-masa sebelumnya dilakukan ABRI. Bahkan, kala itu di sana sini di berbagai daerah tentara cenderung mempersulit Golkar.
SUNGGUH menarik bahwa pada masa pasca Soeharto, kekuatan-kekuatan politik sipil, termasuk mereka yang merasa selalu dirugikan dalam pemilihan-pemilihan umum Orde Baru, senantiasa menyebutkan pemilihan-pemilihan umum masa reformasi, khususnya Pemilihan Umum 1999, sepenuhnya bersih dan paling demokratis sepanjang sejarah Pemilihan Umum Indonesia. Gegap gempita klaim kebersihan pemilu tersebut menenggelamkan cerita di balik berita, bahwa sebenarnya Pemilihan Umum 1999 itu juga penuh rekayasa. Partai-partai kecil yang banyak, karena tak punya saksi-saksi di TPS-TPS pelosok, habis dijarah perolehan suaranya oleh beberapa partai yang lebih besar pengorganisasiannya. Selain itu, partai-partai kecil yang puluhan jumlahnya itu pun 'dirampok' melalui sistem penghitungan alokasi kursi. Upaya mereka melalui protes agar perolehan suara mereka –yang bila diakumulasi, mencapai jumlah puluhan juta suara yang secara kuantitatif setara dengan puluhan kursi DPR– 'dikembalikan', tak menemukan jalan penyelesaian, baik melalui KPU maupun PPI.
Ada rumour politik, bahwa dalam Pemilu 1999, sebenarnya suara Golkar sedikit lebih besar dari perolehan PDIP, tetapi kalangan tentara dengan sisa-sisa pengaruhnya, dengan pertimbangan stabilitas keamanan, menyodorkan skenario PDIP sebagai pemenang. Bila Golkar yang dimenangkan akan mencuat tuduhan politis bahwa Pemilu 1999 curang dan direkayasa.
Klaim bahwa pemilu-pemilu pasca Soeharto bersih, menciptakan sikap obsesif, dan pada akhirnya seakan-akan merupakan semacam 'aliran kepercayaan' tersendiri. Semua pengungkapan bahwa kecurangan –terlepas dari berapa besar kadarnya– masih mewarnai pemilihan-pemilihan umum hingga kini, akan selalu ditolak. Itu sebabnya, setiap protes tentang adanya kecurangan selalu menemui jalan buntu penyelesaian. Selain sikap obsesif tadi, juga cukup kuat anggapan, bahwa sebagai peristiwa politik –yang terlanjur dikonotasikan terbiasa bergelimang dengan aneka kelicikan– jamak bila pemilihan umum diwarnai kecurangan. Maka, dianggap, tak perlu terlalu serius mencari kebenaran di situ. Hanya yang 'kalah' saja yang mencak-mencak.
MUNGKIN satu rangkaian 'dialog' tanya jawab di website yang diasuh Wimar Witoelar, Perspektif Online, berikut ini, bisa menjadi semacam ilustrasi, atau menjadi cermin, untuk itu semua.
Ketika website Wimar, Perspektif Online, mengutip berita bahwa Mahkamah Konstitusi (12 Agustus 2009) menolak gugatan terhadap hasil Pilpres 2009 oleh pasangan Megawati Soekarnoputeri-Prabowo Subianto (koalisi PDIP-Gerindra) maupun pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (koalisi Partai Golkar-Hanura), muncul 17 komentar pembaca. Kita kutip beberapa di antaranya.
Komentar ketiga (dari Sunu Gunarto, 13 Agustus) menyebutkan: "Pertandingan telah usai. Kalah menang dalam pertandingan itu wajar. Yang kalah protes karena menganggap wasit tidak fair dalam memimpin pertandingan itu juga wajar. Patut diapresiasi bahwa yang kalah selama ini tidak berbuat anarkis sehingga tidak merugikan orang lain/rakyat. Semoga yang menang juga tidak menjadi sombong (umuk). Pendidikan politik yang bagus bagi rakyat kalau semua sengketa pemilu ini diselesaikan lewat jalur hukum. Selamat kepada pemenang dan memberi apresiasi (penghargaan) sangat tinggi kepada yang kalah yang dapat menerima kekalahan dengan legowo…….".
Komentar kelima (dari Mundhari, 13 Agustus), menyebutkan: "Kemajuan besar demokrasi di Indonesia. Para politikus dalam melaksanakan politiknya pada proporsi benar. Yang kalah dan merasa dirugikan melakukan protes lewat jalur hukum. Setelah putus mereka menerima secara legawa dan menghormati keputusan. Efeknya sungguh akan besar. Indonesia akan damai dan tenang, sehingga tersedia ruang gerak untuk mengatasi keprihatinan di bidang ekonomi, agar segera pulih. Harapan selanjutnya dalam penyusunan kabinet, presiden terpilih diberi keleluasaan sesuai hak prerogatifnya, dengan cara tidak terjadi politik dagang sapi. Konstelasi politik hasil pil-leg agar dapat dijalankan secara konsekuen. Dan yang paling urgen, para wakil rakyat di parlemen kembali ingat bahwa mereka itu pembawa amanah rakyat. Jadi fokusnya juga kepada kepentingan rakyat. Bukan kepada siapa siapa".
Komentar ketujuh (Agus Sendjaya, 13 Agustus), memperkuat: "Keputusan sudah ada, tinggal menunggu yang berkompetisi saling berjabat tangan. Mudah-mudahan para pemimpin kita termasuk manusia yang beradab tau kapan menyerang dan tau pula kapan saatnya mengibarkan bendera putih. Maju terus demokrasi".
Komentar kesepuluh (dari Rum Aly, 22 Agustus), berbeda: "Tak pernah ada pemilu Indonesia yang betul-betul bersih, dari 1955, masa Soeharto dan 1999 sampai kini. Kecurangan pemilu takkan pernah terbongkar tuntas, karena memang tak ada keinginan bersama yang kuat untuk itu. Mana mungkin suatu kecurangan terstruktur, sistimatis dan massive, bisa diungkapkan secara musiman, atau oleh suatu sidang yang singkat dengan gugatan yang juga lemah persiapannya etc. Perlu digagaskan suatu komisi untuk menyelidiki/meneliti penyimpangan pemilu-pemilu Indonesia dari waktu ke waktu untuk kepentingan memelihara masa depan demokrasi di Indonesia".
Pengelola Perspektif Online, Wimar Witoelar, turun tangan menjawab –ada kemungkinan diwakili oleh host lain, atas namanya– pada hari yang sama: "WALAH! Kasian, membandingkan Pemilu sekarang dengan Pemilu masa Soeharto. Memang anda tidak tahu, Pemilu Orde Baru sudah ditentukan hasilnya sebelumnya, partainya pun dibentuk oleh Soeharto. Pemilu tahun 1955, bersih. Pemilu 1999, 2004, 2009 bersih. Pemilu bersih tentu selalu dengan banyak catatan, seperti di semua negara demokrasi. Tentu hak anda untuk tidak percaya, cuman kasihan saja kalau tidak tahu".
Komentar keempatbelas (dari Santo, 23 Agustus) menyanggah Rum Aly. Dituliskan:
"Saya rasa, statement diatas tidak sepenuhnya benar, karena: 1. Meskipun masih ada yang perlu diperbaiki (misalnya: kualitas KPU, BAWASLU dll), namun sesungguhnya pemilu Indonesia jelas sekali sudah semakin dewasa, semakin bersih, dan semakin demokratis dibandingkan jaman Soeharto. 2. Karena kecurangan-kecurangan pemilu tersebut pada jaman Soeharto makanya terjadi koreksi besar-besaran dengan reformasi. Jadi sangat berbeda donk Pemilu jaman Soeharto dan sekarang. 3. Bila Capres/Cawapres nomor 1 dan 3 mempunyai bukti yang kuat dan benar serta matang, maka dengan sidang yang singkatpun dapat dibuat keputusan sidang yang sangat baik. Masalahnya Capres/Cawapres tersebut tidak punya bahan bukti yang kuat tersebut (atau mengada-ada saja gugatannya), sehingga gagal di sidang. 4. Kita perlu bersikap positif dan menghargai hasil-hasil yang sudah dicapai dalam semua proses ini".
Rum Aly menjawab (komentar kelimabelas, 23 Agustus), yang agaknya terutama ditujukan kepada Wimar: "Mengenai pemilu orde baru saya kira kita sama tahunya mengenai betapa itu semua sudah dirancang lebih dulu hasilnya. Tetapi mengatakan bahwa pemilu pasca Soeharto juga berlangsung tidak bersih, bukan sesuatu yang perlu dikasihani. Ini bukan soal membandingkan, bung Wimar, tetapi soal jangan menutup mata terhadap kecurangan pemilu manapun, bila kita menghendaki pemilu yang lebih baik dan masa depan demokrasi yang lebih baik. Bukan pula soal hak untuk percaya atau tidak percaya yang subjektif, lalu menetapkan bersih atau tidak bersih, tapi soal mencari kebenaran objektif".
Komentar keenambelas (R. Januardi, 25 Agustus) bernada membenarkan pandangan Rum Aly: "Kalau menilai pemilu, jangan pilih-pilih tebu dong, atau kayak belah bambu, satu diangkat yang lain diinjak. Kalau ada curangnya, besar atau kecil, ya tetap aja curang, tidak bisa ditolerir. Jangan permissive. Kalau permissive, ya curangnya bisa makin menjadi dan rame-rame".
Komentar ketujuhbelas (Frans C, 4 September 2009) menyudahi 'dialog' ini dengan mengembalikan persoalan ke tangan Tuhan: "Jika ingin mencari pemilu yang benar-benar sempurna dan bebas dari kecurangan sekecil apapun, selamat!!! Sampai mati pun anda tidak akan pernah menemukannya. Kesempurnaan dan kebenaran yang sejati hanya milik Tuhan".
BAGAIMANA dengan tudingan Indro Tjahjono tentang kecurangan Pemilihan Umum di tahun 2004 maupun 2009? Kelihatannya, pengungkapan itu sepi reaksi, dari media pers maupun dari mereka yang dituduh. Apakah sebaiknya kita juga mengembalikan persoalannya ke tangan Tuhan saja? Sampai bertemu pada 2014 dengan peristiwa dan kecurangan yang sama, sesuai kelaziman dari pemilihan umum ke pemilihan umum….
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)
berita terkait :
Formulir C-1, Kunci Kemenangan dan Rekayasa Pemilu
Terungkap! SBY Jadi Presiden Karena 'Kecurangan' Sistem IT
Selasa, 03 Juli 2012 15:08 WIB
LENSAINDONESIA.COM: Boleh percaya atau tidak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikatakan menjadi pemenang dalam Pilpres sebanyak dua kali karena kecurangan sistem Informasi Teknologi (IT) yang dikendalikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adalah Ir S Indro Tjahjono yang mengungkapkan informasi mengejutkan tersebut. Ia mengaku ikut terlibat dalam kecurangan oleh sistem Informasi Teknologi (IT) yang sistemnya dikendalikan oleh KPU.
Indro mengatakan sistem kecurangan IT dulu terjadi di zaman Orde Baru dan kini kembali terjadi di era pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan SBY. "Pemilu sekarang tidak berbeda dangan pemilu di ORBA. Ada biaya rekayasa besar yang dipersiapkan untuk menset-up sistem entry dan rekap data komputer yang hasilnya akan memenangkan SBY," terang mantan aktivis 78 di Rumah Perubahan Jl Gajah Mada, Jakarta, Selasa (03/07).
Terang Indro, modus ini merupakan bagian dari sistem National Democratic Institute (NDI) yang dipakai untuk kemenangan pemilu di Amerika Serikat, dengan menggunakan lembaga-lembaga pemantau pemilu yang sebenarnya ditugaskan untuk memantau jalannya sistem yang dipakai dalam pelaksanaan pemilu. Lanjutnya dia menceritakan ketika KPU terang-terangan menawarkan terhadap dirinya penjualan suara. Dan menurutnya ini bisa jadi panduan bagaimana memenangkan suara dan DPT.
Dia mengharapkan perlu dilakukan revolusi dan buat aturan KPU yang baru. "KPU melakukan riset terlebih dulu sebelum melakukan rekayasa. Formulir C-1 sangat menentukan kemenangan pemilu," pungkasnya. @aligarut
Editor: Rizal Hasan
http://www.lensaindonesia.com/2012/07/03/terungkap-sby-jadi-presiden-karena-kecurangan-sistem-it.html
Ada Kecurangan
Sistem IT KPU Diduga Sudah Disetting
LENSAINDONESIA.COM: Aktivis tahun 1977/1978, Ir. Indro Tjahyono, mengungkapkan pengalamannya ketika berpartisipasi dalam pesta demokrasi untuk ikut sebagai calon legislatif. Menurutnya, ada kecurangan oleh sistem IT yang sistemnya dikendalikan oleh KPU.
Indro mengatakan sitem kecurangan IT dulu terjadi di jaman orde baru (ORBA) dan kini terulang dalam orde Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). "Pemilu sekarang tidak berbeda dangan pemilu jaman ORBA. Ada biaya rekayasa besar yang dipersiapkan untuk membuat setting sistem entry dan rekap data komputer yang hasilnya akan memenangkan SBY," terang mantan aktivis ini di rumahnya, Jl Gajah Mada, 03/07/12.
Menurut Indro, penjualan suara terhadap dirinya pernah ditawarkan oleh KPU secara terang-terangan. Bila dia mau, maka akan diberi panduan bagaimana memenangkan suara dan DPT. Modusnya, KPU melakukan riset terlebih dahulu sebelum melakukan rekayasa. "Formulir C-1 sangat menentukan kemenangan pemilu. Ketua KPUD Jakarta pernah bilang ke saya, meski sudah ada hasil data pemenang, tapi kita tunggu dulu intruksi dari Jakarta," jelasnya.@ali
Editor: andiono
http://www.lensaindonesia.com/2012/07/03/sistem-it-kpu-diduga-sudah-disetting.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar