Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket

Selasa, 01 Februari 2011

Perjuangan Rakyat Mesir dan Tunisia

 


Kebangkitan perlawanan rakyat di dunia Arab, mula-mula di Tunisia,
kemudian di Aljazair, dan sekarang ini di Mesir, adalah pembenaran yang
seadil-adilnya atas keinginan rakyat di negeri tersebut untuk
menghapuskan rejim korup, anti-demokrasi, dan sekaligus boneka
imperialisme AS-Israel.

Revolusi Arab tahun 1924, sering disebut revolusi Arab pertama, yang
dipimpin oleh Sharif Hussein bin Ali, berhasil memerdekakan Arab dari
kekaisaran Ottoman. Akan tetapi, pemberontakan besar itu terkooptasi
oleh Inggris dan Perancis. Pasca 1945, meskipun kebanyakan negara Arab
itu sudah merdeka dan menjadi anggota PBB, tetapi mereka sangat
dikendalikan dari luar, terutama AS, selaku pengganti Inggris.

Ketika Gamal Abdul Nasser berkuasa setelah revolusi Mesir di tahun 1952,
ia segera mengambil jarak dengan negeri-negeri imperialis dan mengambil
sejumlah langkah-langkah radikal; menasionalisasi terusan suez,
mengambil-alih sejumlah bank dan perusahaan asing, dan menjalankan
reformasi agraria. Negara-negara imperialis merasa sangat terancam
dengan sosialisme Arab ala Nasser ini, bukan saja karena telah
mengganggu kepentingan ekonominya, tetapi juga takut jikalau Nasser ini
menjadi inspirasi bagi negara-negara Arab lainnya. Karena itu, AS,
Inggris, Perancis, dan Israel kemudian melancarkan perang dan merancang
berbagai kudeta untuk menjatuhkan Nasser dan pemerintahan-pemerintahan
nasionalis Arab yang mengikutinya, termasuk Mohammad Mosaddegh di Iran.

Adalah sangat menarik, dan tentu saja ini bukan kebetulan, bahwa
rejim-rejim yang digulingkan rakyat hari adalah rejim-rejim boneka. Dan,
jauh lebih menarik lagi, bahwa rejim-rejim boneka tersebut sangatlah
anti-demokrasi. Tentang mengapa rejim diktator bisa menganut liberalisme
ekonomi, kita tentu ingat perkataan ideolog besar neoliberal, Milton
Friedman, yang berkata: "Seorang diktator dapat saja berkuasa secara
liberal, sama mungkinnya seperti demokrasi tanpa liberalisme. Preferensi
personal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang
pemerintahan demokratis tanpa liberalisme."

Seperti juga rejim Soeharto di Indonesia, baik Ben Ali di Tunisia maupun
Hosni Mobarak di Mesir, keduanya mendapatkan sokongan penuh dari barat.
Jika Tunisia sangat dekat dengan Perancis, maka Mesir justru sangat
berangkulan dengan AS. Pada awalnya, Ben Ali disanjung-sanjung sebagai
"diktator yang tercerahkan", terutama karena prestasinya membuka
pintu ekonomi bagi investasi barat. Melalui sejumlah reformasi ekonomi,
yang didasarkan atas petunjuk IMF, Ben Ali berhasil mengangkat PDB
Tunisia dari $1.206 pada 1986 menjadi US$3.786 pada 2008. Namun, dalam
waktu sekejap, sebagaimana kasus Indonesia di bawah Soeharto yang dipuji
sebagai "macan Asia", semua itu seperti menguap saat pemerintah
gagal mengontrol kenaikan harga bahan makanan, pengangguran, dan korupsi
yang semakin menggila. Tunisia juga semakin bergantung secara ekonomi
kepada negeri-negeri imperialis di Barat, dimana sekitar 80% pendapatan
nasionalnya diperoleh dari investasi dari perusahaan barat.

Begitu pula dengan Hosni Mubarak di Mesir. Dia adalah sekutu penting
bagi imperialisme AS dan Israel di dunia Arab. Mubarak juga merupakan
penerima dana terbesar kedua dari pinjaman luar negeri AS setelah
Israel. Akibat dari persekutuan keji tersebut, sebagian besar rakyat
Mesir hidup dengan pendapatan di bawah 2 USD/hari. Pada tahun 1991,
sebagai imbalan atas dukungan Mubarak terhadap invasi AS ke Irak, Bush
melobi IMF untuk mengampuni utang Mesir. Deregulasi menyebabkan harga
pangan meningkat pesat, sedang privatisasi telah membuat pengangguran
dan kemiskinan yang cukup parah.

Pendek kata, kebangkitan gerakan rakyat di Mesir dan Tunisia adalah
konsekuensi langsung dari kontradiksi internal yang meruncing, yaitu
tuntutan demokrasi melawan kediktatoran, perjuangan melawan rejim korup,
sekaligus perjuangan rakyat atau perjuangan nasional melawan
imperialisme dan bonekanya.

Meskipun demikian, kita juga tidak bisa menafikan pengaruh krisis global
saat ini, dimana negeri-negeri imperialis sedang berjuang
sekeras-kerasnya untuk menghapuskan segala penghalang kepentingan
pasarnya di dunia ketiga. Tidak bisa dinafikan pula, sebagaimana
diterangkan oleh ekonom progressif Kanada, Michel Chossudovsky, bahwa
ada campur tangan imperialisme AS untuk menghapuskan rejim Hosni Mubarak
di Mesir.

Akan tetapi, sebagaimana diyakini oleh Michel Chossudovsky, kepentingan
AS adalah mengganti "rejim boneka dengan boneka yang lain".
Mungkin seperti Indonesia, kendati Soeharto pro kepada imperialisme,
tetapi imperialisme membutuhkan reformasi politik untuk memunculkan
boneka yang lain. Jika boneka sebelumnya didudukkan melalui
kudeta-kudeta, maka boneka-boneka yang baru didudukkan melalui pemilu.

Oleh karena itu, rakyat mesir dan Tunisia harus mengambil pelajaran dari
perjuangan rakyat Indonesia menggulingan rejim Soeharto pada tahun 1998.
Gerakan Rakyat di Mesir dan Tunisia tidak boleh memberikan kepemimpinan
politik kepada politisi boneka yang baru, tetapi harus membangun
pemerintahan persatuan nasional yang berkarakter mandiri dan berdaulat.

Dengan adanya sedikit kesamaan antara perjuangan rakyat di Mesir dan
Tunisia dengan perjuangan rayat Indonesia pada tahun 1998, yaitu
sama-sama melawan kediktatoran, memperjuangkan demokrasi, dan melawan
korupsi, maka gerakan rakyat di Mesir dan Tunisia bisa mengambil
pelajaran dari Indonesia untuk membuat lompatan kualitatif yang lebih
maju dan progressif. Untuk itu, gerakan rakyat di Mesir dan Tunisia
harus diberikan kepemimpinan politik, tapi bukan oleh segelintir elit
reformis, melainkan persatuan seluruh kekuatan oposisi.

Dan, kepada rakyat Indonesia yang sedang hebat-hebatnya berjuang melawan
imperialisme, sangat penting untuk memberikan solidaritas dan dukungan
kepada rakyat di Mesir, Tunisia, Aljasair, Yordania, dan tempat-tempat
lainnya, terutama untuk sama-sama menyatakan penentangan terhadap campur
tangan imperialisme AS di negeri-negeri tersebut.

Gerakan rakyat di Indonesia bukan saja penting menggelar aksi di kedubes
negeri-negeri yang gerakan rakyatnya sedang bangkit, tetapi juga harus
mengarahkan aksinya ke kedubes negeri-negeri imperialis, khususnya AS,
untuk memaksa mereka keluar dan tidak campur tangan dengan persoalan
nasional di negeri lain.

Tidak ada komentar: