Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket

Sabtu, 18 Desember 2010

Liberalisasi Energi di Balik Pencabutan Subsidi

Harga BBM akan naik lagi! Meskipun dengan modus pembatasan penggunaan
BBM bersubsidi, dan alasan kekurangan anggaran untuk subsidi, atau
subsidi yang tidak tepat sasaran, atau alasan lain, pencabutan subsidi
tersebut tak lain dari langkah liberalisasi sektor enegeri. Apa
maknanya? Harga BBM di dalam negeri diserahkan pada "mekanisme
pasar", atau perlahan tapi pasti akan disamakan dengan harga BBM di
belahan dunia lain yang kondisi industri maupun rakyatnya jelas lebih
makmur. Istilah diserahkan pada "mekanisme pasar" sesungguhnya
sama dengan diserahkan pada "kehendak para perusahaan-perusahaan
raksasa perminyakan" untuk menentukan harga sesuai tingkat
keuntungan yang mereka inginkan.

Dalam lingkup dalam negeri, harga BBM yang dijual oleh SPBU (Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum) milik Pertamina menjadi sama harganya dengan
harga di SPBU asing. Ekonom Ichsanudin Noersi, dalam salah satu media
nasional beberapa waktu lalu, memastikan bahwa langkah pemerintah ini
menuruti dikte dari Bank Dunia (Worl Bank) dan lembaga donor
internasional lain, yang selama ini menjadi alat bagi kepentingan
kapitalis multinasional asing.

Tak bisa dibantah, ketika pemerintah mulai mengkampanyekan rencana
"pembatasan" ini bulan lalu, SPBU-SPBU milik perusahaan asing
telah kebanjiran pembeli. Sejumlah media massa ibukota dua hari terakhir
melaporkan kenaikan jumlah pembeli di SPBU asing seperti Shell (milik
Inggris dan Belanda), Petronas (Malaysia), dan Total (asal Prancis),
telah mencapai 20 persen. Belum kami temukan publikasi laporan
perkembangan penjualan di SPBU milik Pertamina, namun secara logis dapat
kita pastikan mengalami pengurangan. Dengan demikian pembatasan
penggunaan BBM bersubsidi ini telah berdampak langsung menguntungkan
SPBU-SPBU asing, dan membuka ruang yang semakin luas bagi mereka untuk
meluaskan "usaha"nya ke seluruh pelosok negeri.

Sebaliknya, di sisi Pertamina, akan mengalami kerugian dengan
berkurangnya pembeli akibat kalah bersaing dalam hal pelayanan maupun
penyediaan BBM yang berkualitas. Terlepas bahwa perusahaan milik negara
ini perlahan telah dikomersialisasi seturut kehendak hukum pasar bebas,
dan Pertamina sendiri menyatakan kesiapan menghadapi persaingan bebas,
namun kenyataan menunjukkan bahwa Pertamina sebagai aset strategis milik
negara sedang dihancurkan secara sistematis oleh kebijakan ini. Terlebih
lagi, pemotongan subsidi bagi mayoritas kendaraan roda empat ini akan
berdampak langsung terhadap industri kecil dan menengah, terutama yang
menggunakan kendaraan berplat hitam untuk kebutuhan operisional
usahanya. Sementara rakyat miskin, seperti disampaikan berbagai
penelitian maupun kenyataan empiris, harus menanggung dampak domino
berupa kenaikan harga dan menurunnya daya beli.

Penolakan-penolakan terhadap pemotongan subsidi (dalam berbagai modus)
ini, sejak semula, tidak pernah didengarkan dan dituruti oleh
pemerintahan. Pemerintah memilih untuk patuh pada perintah lembaga donor
asing yang mewakili kepentingan imperialis minyak. Meski demikian, sikap
penolakan perlu dan harus tetap ditunjukkan bahkan dengan lebih keras.
Pihak-pihak yang berkepentingan, baik kalangan pengusaha kecil-menengah,
buruh, nelayan, dan kaum miskin, serta seluruh kekuatan-kekuatan politik
pro kepentingan nasional perlu bersatu-padu menyatakan penolakan
terhadap rencana pemerintah ini. Atau, kita akan semakin terhisap dan
terjajah oleh kepentingan para imperialis minyak yang telah bersekongkol
dengan pemerintah berkuasa.



berdikarionline.com/editorial/20101217/liberalisasi-energi-di-bal\

Tidak ada komentar: