Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket

Senin, 16 Juli 2012

Mengurai Agenda Asing di Balik LSM




Di balik sikap kritis, muncul tudingan miring sejumlah LSM menikmati dana untuk "mengawal" agenda asing

Baru-baru ini, terbongkar aliran dana dari Wali Kota New York Michael Bloomberg untuk Bloomberg Initiative To Reduce Tobacco Use Grants Program sebesar US$ 6.443.492 (atau Rp 57,9 miliar) kepada lembaga-lembaga di Indonesia sejak 2007.

Beberapa lembaga telah menjadi kaki tangan kampanye antirokok dan yang menerima dana tersebut adalah Indonesia Corruption Watch (ICW) sebesar US$ 45,470 ( Rp 409.230.000).

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga dua kali menikmati dana Bloomberg tersebut untuk penegakan area bebas rokok dan peraturan terkait pelarangan iklan produk tembakau di Jawa, Indonesia. US$ 127,800 pada Januari 2011 hingga April 2012 dan US$ 454,480 pada Mei 2008 hingga Mei 2010.

Selain kedua LSM ini, ada beberapa lembaga lainnya yang juga menikmati aliran dana dari Bloomberg tersebut (lihat tabel). Lembaga-lembaga tersebut bertugas menggalang dukungan di DPR untuk mengegolkan kebijakan pengendalian tembakau di DPR tingkat nasional maupun daerah dan mengkampanyekan antirokok kretek pada masyarakat.

Harus Berani 

Menanggapi lembaga yang ditunggangi kepentingan asing ini, Ketua Panitia Khusus Rancangan undang-undang, Abdul Malik Haramain, menegaskan agar negara tidak perlu takut bertindak untuk menyikapi organisasi masyarakat yang melanggar.  

RUU Ormas yang sedang dibahas di DPR berisikan aturan sumber keuangan, hak, dan kewajiban hingga sanksi, serta larangan keberadaan ormas, termasuk ormas asing.

Sanksi di RUU Ormas, menurutnya, berawal dari teguran tertulis. Jika tidak diindahkan akan dilanjutkan dengan pembekuan fasilitas APBN-APBD. Setelah itu diikuti pembekuan aktivitas oleh Kemendagri dan Polri dengan tidak memberikan izin kegiatan pada ormas dan terakhir pembubaran melalui pengadilan.

Pada RUU ini, ormas asing yang tidak melakukan kewajiban dan melakukan pelanggaran diakhiri dengan sikap tertinggi, yakni tindakan diplomatik.Terkait dana yang diperoleh, RUU Ormas juga mewajibkan transaksi dilakukan secara perbankan.

Hal ini dilakukan agar dana-dana yang masuk bisa diakses termasuk peruntukannya. Ini karena berdasarkan analisis PPATK pada 2011 ada transaksi US$ 137 juta yang tidak terlacak. Berdasarkan catatan, Malik mengatakan ormas asing yang mendaftar di Indonesia berjumlah 148 namun hanya 109 yang diberikan izin Kemenlu.

"Itu harus melalui jalur normal, perbankan, termasuk LSM dan ormas yang berafiliasi ke asing, seperti WWF, GreenPeace, dan Hizbut Tahir. Mereka juga harus melaporkan keuangannya. Kalau tidak, tentu bisa dicabut SKT (Surat Keterangan Terdaftar)-nya," tutur Malik.

Paling Seksi 

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek mencontohkan isu Papua sebagai isu yang paling "seksi" untuk "dimainkan" LSM. Dia bahkan sempat menuding ada beberapa LSM Indonesia yang berafiliasi dengan LSM asing untuk menginternasionalisasi permasalahan di Papua.

Dalam hal ini, kata dia, pemerintah kerap didiskreditkan tidak becus atau setidaknya kurang memberi perhatian pada Papua dan masyarakat di sana. Negara dikesankan melakukan pembiaran atas rangkaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Bumi Cendrawasih.

Dengan begitu, persoalan Papua akan menjadi masalah internasional. Upaya internasionalisasi oleh LSM itu tidaklah gratis. Dia mengatakan, LSM lokal mendapat sejumlah dana yang tidak sedikit dari LSM asing sebagai pamrih atas upayanya mengkritik kinerja pemerintah. Donny bahkan sampai menuding LSM-LSM yang bersangkutan merupakan mata-mata pihak asing.

Untuk itu, pemerintah mengambil langkah tegas untuk mengawasi aktivitas LSM. Tujuannya, kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, agar negara ini tidak "dijual" kepada pihak asing oleh LSM. Langkah pengawasan dan pengaturan LSM, tutur Gamawan, dilakukan dengan mengharuskan semua ormas yang beraktivitas untuk mendaftar kepada kementerian yang dipimpinnya.

Bagi ormas yang nekat tidak mendaftarkan diri, negara akan mempersulit setiap aktivitasnya, di antaranya pemerintah tidak akan memberi bantuan pembiayaan kepada ormas yang bersangkutan. Pemerintah bahkan mengancam tidak akan memberi rekomendasi izin kegiatan dari kepolisian jika LSM yang bersangkutan memintanya untuk beraktivitas.

Kewajiban lain bagi ormas yang beraktivitas di Tanah Air adalah melaporkan laporan dan audit keuangannya kepada pemerintah, terutama jika ada pendanaan dari lembaga asing. Gamawan menegaskan, laporan keuangan tersebut harus dapat diinformasikan kepada publik. Publik pun harus tahu peruntukan dana yang didapat suatu ormas, terutama dari pihak asing.

"Publik harus tahu dana itu digunakan untuk aktivitas apa. Jangan sampai ada yang terima dana besar-besaran dari asing, ternyata digunakan untuk kepentingan asing, misalnya disintegerasi," ujar Gamawan, Jumat (6/7).

Gamawan menjelaskan, pemerintah mencatat saat ini terdapat setidaknya 64.000 ormas yang terdaftar di seluruh Indonesia. Ormas-ormas tersebut terdaftar di Kemendagri dan Kementerian Hukum dan HAM. Sementara Kemenlu melakukan verifikasi dan mendapat setidaknya 160 ormas asing beroperasi di Indonesia.

"Belum termasuk LSM lokal yang tidak mendaftarkan diri," kata Gamawan.

Di masa Orde Baru, LSM hanya menonton saat massa rakyat ramai-ramai menjatuhkan diktaktor Soeharto. Saat ini LSM terdepan menjadi alat koorporasi menguasai pasar dan mengeruk sumber daya alam dan manusia Indonesia sebanyak-banyaknya.

(Sinar Harapan) 

LSM Berjuang untuk Siapa Sih?


Funding agency sengaja dibentuk koorporasi yang menyediakan dana tak terbatas.

Di kalangan LSM, dana asing yang mengalir ke LSM menimbulkan berbagai pandangan. Menanggapi tudingan miring pada LSM, Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (ICW) membantah keras saat dihubungi SH, Minggu (8/7) sore.

Sebaliknya, ia beranggapan, mereka yang menuding ICW mendapat intervensi dari pemberi modal adalah pihak yang gerah dengan keberadaan lembaga swadaya antikorupsi ini, atau pihak-pihak yang khawatir terbongkar kegiatan korupsinya.

Danang mengakui, selain sumbangan dari ribuan masyarakat, ICW memang menerima sejumlah dana dari berbagai pihak, sebut saja USAID dan Ford Foundation.

"Dana yang kami terima bukan hasil kejahatan, bukan dari praktik korupsi dan transparan. Tahun ini ICW dapat dari USAID dan AUSAID yang proses tendernya melibatkan Bappenas. ICW juga dapat dari Ford Foundation yang harus dapat persetujuan dari Sekretariat Negara," jelas Danang.

Ia menyebutkan dana asing diterima ICW bukan dana liar, tetapi tercatat rapi dan melibatkan negara juga dalam proses penerimaannya. Lebih jauh Danang berpendapat, ICW melakukan transparansi dalam penerimaan dana, termasuk dari pihak asing. Selain diketahui negara, dalam hal ini Bappenas, ICW dan pemberi modal juga mencantumkan penerimaan dana melalui situs lembaga mereka masing-masing.

"Bisa dilihat dari situs kami atau pemberi dana kami. Kami menerima dari berbagai sumber dana. Sebagian besar donatur justru dari masyarakat. Ribuan masyarakat menyumbang, ada Rp 75.000, ada Rp 50.000 sebulannya," ujar Danang.

Sisa Orde Baru 

Seperi halnya ICW, LSM Imparsial menolak persepsi mengenai pemberian dana asing dapat mengintervensi atau bahkan melunturkan semangat nasionalisme. Ditegaskan Poenky Indarti selaku Direktur Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), tudingan miring seperti itu menggambarkan masih adanya pola pemikiran zaman Orde Baru.

"Itu pola pemikiran zaman Orde Baru yang menuding LSM kritis itu antipembangunan, seperti ICW yang kritis kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara. Orang yang kritik itu takut terbongkar," kata Poenky, kemarin.

Dalam kesempatan yang sama Poenky menilai ICW dan LSM lainnya adalah kelompok-kelompok kritis yang menyoroti penyalahgunaan uang diterima negara.

"Malah kami yang dimusuhi. Kalau kami bungkam, korupsi akan makin merajalela, pejabat akan makin sewenang-wenang dan melanggar HAM," ucap Poenky.

Menanggapi bantahan di atas, Wakil Ketua Komnas HAM M Ridha Saleh mengatakan dana asing yang diterima LSM memang lumrah, karena mereka mengelola dana tersebut secara transparan dan akuntabel. Hanya saja dana tesebut menjadi sensitif jika masuk dalam conflict of intrest dari masalah-masalah yang terkait dengan tembakau.

"Ini menyangkut petani tembakau, buruh pabrik rokok, pedagang rokok, industri rokok sendiri yang berkonflik dengan antar pemilik modal farmacy dan rokok internasional. Kita harus memilih," ujarnya.

Direktur Ekeskutif Setara Institut Hendardi menegaskan bagaimana pun industri rokok dalam negeri masih menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja. Bagi LSM-LSM yang bekerja untuk meminimalkan industri rokok semestinya mengarahkan alternatif penyaluran tenaga kerja tersebut terhadap negara.

Negara memiliki obligasi untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Selama negara belum memiliki alternatif lapangan pekerjaan baru, mematikan industi rokok bisa sama saja dengan menciptakan pengangguran baru.

"Karena itu kerja LSM justru mesti diarahkan pada desakan terhadap negara untuk penyediaan lapangan kerja yang menjadi tanggung jawabnya," ujarnya.

Uchok Sky Khadafy dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengingatkan penerimaan negara dari cukai rokok Rp 65,3 triliun. Pada tahun anggaran 2012, pendapatan cukai hasil tembakau Rp 79,8 triliun.

"Pendapatan ini masih sedikit, karena masih banyak di-mark down oleh aparat pajak kita. Masih banyak aparat pajak juga 'menikmati' cukai tembakau ini karena pengelolaan tidak transparan oleh negara," ujarnya.

Mantan aktivis LBH Hermawanto Al Bantanie menilai sangat mudah diketahui bahwa dalam persoalan rokok ada agenda ekonomi global yang membunuh ekonomi rakyat.

"Kita prihatin dengan kondisi LSM kita juga, yang masih bergantung dengan dana asing, padahal seharusnya didanai oleh masyarakat kita sendiri. Seharusnya mereka selektif menerima dana asing tersebut dan mengedepankan kepentingan nasional," katanya.

Soal sanksi, Direktur Eksekutif, Institut Proklamasi Arief Rahcman mengatakan tidak cukup negara dan pemerintah yang harus bertindak pada LSM-LSM yang menerima dana asing dan merugikan rakyat.

"Masyarakat juga perlu melakukan sanksi sosial terhadap aktivis-aktivis LSM yang menjadi kaki tangan asing. Suatu saat rakyat yang akan mengadili," ujarnya.

Lepas dari silang pendapat di atas, sosiolog dari Universtias Binghampton, Amerika Serikat, James Petras, sudah mengingatkan dalam tulisannya "Kritik Terhadap Kaum Post Marxist", 1997, bahwa LSM sudah terbiasa bekerja berdasarkan pesanan proyek dengan menerima dari dana funding agency (lembaga-lembaga keuangan) internasional.

Funding agency sengaja dibentuk oleh koorporasi (perusahaan-perasaan) asing yang menyediakan dana tak terbatas untuk bisa mempertahankan dan mengembangkan bisnisnya. Caranya dengan mengibarkan panji-panji demokrasi, HAM, antikorupsi, lingkungan hidup, dan lain-lain. (Web Warouw)

(Sinar Harapan) 

Tidak ada komentar: