Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket

Senin, 09 Juli 2012

DEMOKRASI DAN PELUANG KECURANGAN


Jika penerapan demokrasi hanya berakhir pada mekanisme kecurangan, maka apa artinya perjuangan ’98 yg memperjuangkan demokrasi? Apakah betul Indonesia belum siap menerapkan demokrasi? Saya pribadi bukan pengagum sistem demokrasi, kenapa? Karena sistem demokrasi dalam banyak kasus hanya membuka peluang-peluang kecurangan, Contoh paling bagus adalah AS, cukup 200 tahun menjalani demokrasi, akhirnya berlaku otoriter juga.
Yunani dan Romawi pun senada, setelah mencapai puncak demokrasi, berakhir dengan model kekaisaran atau imperium, Siklus polybios pun mengatakan bahwa setelah demokrasi datang anarki, lalu kembali pada monarki, ”Kalau begitu sistem yang mana sistem yang baik untuk digunakan?”  ”Semua sistem pada dasarnya baik, dengan catatan dijalankan tanpa kecurangan” demikian saya jawab. ”Kecurangan itulah yang menyebabkan monarki berganti tirani, aristokrasi lalu oligarki dan seterusnya” lanjut saya.
Pandangan saya simple saja, kalau kita sepakat pakai sistem demokrasi, ya mari kita bangun sistem yang tidak curang, Sistem apapun, selama dilakukan dengan mekanisme kecurangan, niscaya akan hancur seperti kastil pasir tergaruk ombak melipir :) .
Jika kita tinjau sejarah peradaban manusia, pergantian sistem selalu diiringi adanya kecurangan yang terlegitimasi dalam institusi, Jadi, seperti saya bilang tadi, jika rakyat Indonesia ingin hidup dengan sistem demokrasi, jauhi kecurangan, apalagi yang terlegitimasi Yaitu hak suara yang setara bagi para pemangku kepentingan dalam sistem organisasi, Hak suara dapat dikatakan sebagai hal yang paling sakral dalam sistem demokrasi.
Rakyat sebagai pemangku kepentingan dalam sistem keorganisasian demokrasi memiliki hak untuk ikut menentukan jalannya organisasi, Berbeda dengan sistem monarki dkk yang top to bottom, sistem demokrasi itu memiliki sifat bottom to top. Berangkat dari landasan sakral itu, maka penyalahgunaan hak suara adalah indikator kegagalan demokrasi. Nah,  kembali ke Pilkada DKI, jika betul ada pihak yang berencana mencurangi hasil pemilihan, maka demokrasi gagal di Jakarta. Jika demokrasi gagal di Jakarta, maka bagi saya demokrasi gagal di Indonesia. Jika warga DKI saja tidak memperjuangkan hak suaranya, maka lebih sulit bagi warga luar Jakarta juga memperjuangkan hak suaranya.
Adanya DPT Fiktif sebanyak 900 ribu – 1,4 juta nyata-nyata pelanggaran terhadap hak suara warga DKI, Pertanyaannya kemudian, siapa yang bisa melakukan kecurangan berupa DPT Fiktif itu?, Saya tanya balik, “Siapa coba yang mampu mengobok-obok kekuasaan untuk menciptakan DPT Fiktif itu?” Mereka pun menjawab bersama “Sang Incumbent !” Betulkah?.
Mungkinkah Jokowi si wong Solo membuat DPT Fiktif? Atau kah Alex Noerdin dari Sumatera yang mampu memerintahkan KPUD membuat DPT Fiktif?  Ataukah Faisal yang tak pernah ada di kekuasaan yang bisa membuat DPT Fiktif di DKI?  Bagaimana dengan Hidayat, mungkinkah beliau memerintahkan pembuatan DPT Fiktif? Atau xxx <= (saya lupa nama kandidat cagub yg satu ini) yang bisa membuat DPT Fiktif? Saya rasa, mereka yang punya akal sehat menyadari betul bahwa DPT Fiktif hanya mungkin dilakukan oleh sang Incumbent

Tidak ada komentar: